pengertian otonomi daerah

Pengertian otonomi daerah dalam ketatanegaraan sangat erat kaitannya dengan desentralisasi, bahkan diantara keduanya diibaratkan seperti dua sisi mata uang (Marynov dalam Riswandha, 1995). Dari sisi Pemerintah pusat yang dilihat adalah penyelenggaraan desentralisasi, sedangkan dari sisi Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan otonomi. Disamping itu desentralisasi juga mempunyai dua pengertian. Pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang tertentu kepada daerah oleh pemerintah pusat (Logeman dalam Riswandha, 1995); Kedua, desentralisasi dapat pula berupa pelimpahan kekuasaan pemerintah pusat ke daerah-daerah (Riswandha, 1995; Hossein, 1993).

Dengan demikian, berbicara otonomi daerah tidak dapat kita lepaskan dari konsep desentralisasi.  Webster (Suryaningrat, 1981:3) merumuskan : “to decentralize means to devide and distribute, as govermental administration; to with draw from the center or place of concentration (desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya administrasi pemerintahan; mengeluarkan dari pusat atau tempat konsentrasi)”. Selanjutnya Ruiter dalam Hoogerwerf (Sarundajang, 1999:46), mengemukakan bahwa desentralisasi adalah pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih rendah, untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu.

Logeman (Supriatna, 1993:1-2), membagi format desentralisasi dalam dua macam, yaitu pertama, dekonsentrasi (deconcentratie) atau ‘ambtelijke decentralisatie’, yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Misalnya pelimpahan wewenang menteri kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati/walikota dan seterusnya secara berjenjang. Desentralisasi semacam ini rakyat atau Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah tidak ikut campur; kedua, desentralisasi ketatanegaraan atau ‘staatkundige decentralisatie’, yang sering disebut juga desentralisasi politik,  yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Didalam desentralisasi politik semacam ini, rakyat dengan menggunakan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta dalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah.

Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan

Dalam studi kebijakan, dipahami benar bahwa bukan persoalan yang mudah untuk melahirkan satu kebijakan bahkan untuk kebijakan pada tingkatan lokal, apalagi kebijakan yang memiliki cakupan serta pengaruh luas, menyangkut kelompok sasaran serta daerah atau wilayah yang besar.

Pada tatanan implementasi pun, persoalan yang sama terjadi, bahkan menjadi lebih rumit lagi karena dalam melaksanakan satu kebijakan selalu terkait dengan kelompok sasaran dan birokrat itu sendiri, dengan kompleksitasnya masing-masing. Tidak saja dalam proses implementasi, dalam realitas  ditemukan juga walaupun kebijakan dengan tujuan yang jelas telah dikeluarkan tetapi mengalami hambatan dalam implementasi (tidak atau belum dapat diimplementasikan) karena dihadapkan dengan berbagai kesulitan atau hambatan.

Seperti yang dikemukakan oleh Effendi (2000) dan Darwin (1999) bahwa ada kebijakan yang mudah diimplementasikan, tetapi ada pula yang sulit diimplementasikan, oleh Darwin (1999) ditegaskan "karena itu, salah satu hal yang penting dalam studi implementasi adalah bagaimana mengenali tingkat kesulitan suatu kebijakan untuk diimplementasikan, dan bagaimana agar kebijakan tersebut dapat lebih terimplementasi". Pertanyaan yang sama ditegaskan pula oleh Edward II (1980:2) yakni " what are the preconditions for successful policy implementation ?". Prakondisi-prakondisi yang dimaksud dapat berupa hambatan/kesulitan ataupun pendorong agar kebijakan dapat diimplementasikan.

Lebih lanjut, Darwin (1999) menyatakan bahwa ada 5 aspek yang menentukan tingkat implementabilitas kebijakan publik, yaitu :
a.    Sifat kepentingan yang dipengaruhi
Dalam proses implementasi satu kebijakan publik seringkali menimbulkan konflik dari kelompok sasaran atau masyarakat, artinya terbuka peluang munculnya kelompok tertentu diuntungkan (gainer), sedangkan dipihak lain implementasi kebijakan tersebut justru merugikan kelompok lain (looser) (Agus Dwiyanto, 2000).

Implikasinya, masalah yang muncul kemudian berasal dari  orang-orang yang merasa dirugikan. Upaya untuk menghalang-halangi, tindakan complain, bahkan benturan fisik bisa saja terjadi. Singkatnya, semakin besar konflik kepentingan yang terjadi dalam implementasi kebijakan publik, maka semakin sulit pula proses implementasi nantinya, demikian pula sebaliknya.

b.    Kejelasan manfaat
Dalam konteks pemerintahan yang amanah, berarti pemerintah haruslah menyelesaikan persoalan-persoalan walaupun tidak bisa dikatakan seluruh persoalan, karena keterbatasan diri pemerintah sendiri, untuk kemudian memberdayakan masyarakat atau melalui LSM dan organisasi lainnya untuk menyelesaikan persoalan yang muncul dalam masyarakat, dimana upaya intervensi pemerintah haruslah bermanfaat bagi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.

Jika dilihat dari aspek bermanfaat atau tidak, maka semakin bermanfaat implementasi kebijakan publik, dengan sendirinya dalam proses implementasi nantinya akan lebih mudah, dalam artian untuk waktu yang tidak begitu lama implementasi kebijakan dilaksanakan serta mudah dalam proses implementas, sebaliknya bila tidak bermanfaat maka akan sulit dalam proses implementasi lebih lanjut.

c.    Perubahan perilaku yang dibutuhkan
Aspek lain yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan publik adalah perubahan perilaku kelompok sasaran atau masyarakat. Maksudnya, sebelum implementasi kebijakan kelompok sasaran atau masyarakat melakukan sesuatu dengan pola implementasi kebijakan terdahulu. Ketika satu kebijakan baru diimplementasikan, terjadi perubahan baik dalam finansial, cara atau tempat dan sebagainya. Perubahan tersebut akan menimbulkan resistensi dari kelompok sasaran.

Masalahnya, lebih banyak implementasi kebijakan yang menuntut perubahan perilaku, baik sedikit atau banyak, artinya pengambil kebijakan seharusnya memilih alternatif kebijakan yang paling kecil menimbulkan pengaruh pada perubahan perilaku kelompok sasaran atau masyarakat. Oleh Darwin (1999) menyatakan bahwa : Dalam hal ini pengambil kebijakan perlu menghindari pengambilan kebijakan yang menuntut perubahan perilaku terlalu jauh, dan tentunya tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, atau pola hidup masyarakat yang sudah turun temurun.

d.    Aparat pelaksana
Aparat pelaksana atau implementor merupakan faktor lain yang menentukan apakah satu kebijakan publik sulit atau tidak diimplementasikan. Komitment untuk berperilaku sesuai tujuan kebijakan penting dimiliki oleh aparat pelaksana. Oleh Darwin (1999) mengatakan bahwa dalam hal ini diperlukan pengembangan aturan yang jelas dan sistem monitoring dan kontrol yang efektif dan transparan yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya perilaku aparat yang berlawanan dengan tujuan publik tersebut.

Selain itu, masyarakat perlu diberdayakan agar lebih kritis dalam mensikapi perilaku aparat yang menyimpang, pilihan proram merupakan upaya mengimplementasikan kebijakan in-built mekanisme yang menjamin transparasi dan pengawasan, hal ini penting untuk mengarahkan perilaku aparat. Selain itu, kualitas aparat dalam melaksanakan proses impementasi pun menjadi kendala yang sering dijumpai. Terutama, menyangkut implementasi kebijakan yang membutuhkan ketrampilan khusus.

Dengan demikian memberikan indikasi bahwa aparat pelaksana kebijakan menjadi salah satu aspek untuk menilai sulit tidaknya implementasi kebijakan. Komitmen, kualitas dan persepsi yang baik nantinya akan memudahkan dalam proses implementasi kebijakan dan sebaliknya.

e.    Dukungan sumber daya
Suatu program akan dapat terimplementasi dengan baik jika didukung oleh sumber daya yang memadai, dalam hal ini dapat berbentuk dana, peralatan teknologi, dan sarana serta prasarana lainnya. Kesulitan untuk melaksanakan satu program terkait erat dengan beberapa hal yang disebut terakhir, bila sumber daya yang ada tidak mendukung maka implementasi program tersebut nantinya dalam implementasi program tersebut akan menemui kesulitan.

Fungsi Pemerintah

Kehadiran negara atau pemerintah tetap ada dalam percaturan ekonomi rakyat, walaupun secara kuantitas atau kualitas memiliki variasi yang berbeda. Kehadiran tersebut, terutama untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui berbagai kebijakan perencanaan yang strategis. Menurut  Devey (1980:21-24), fungsi-fungsi pemerintahan regional dapat digolongkan dalam lima pengelompokan, yaitu :
  1. Fungsi penyediaan pelayanan yang berorientasi lingkungan dan kemasyarakatan; 
  2. Fungsi pengaturan-yakni perumusan dan penegakan (enforce) peraturan-peraturan;
  3. Fungsi pembangunan, yaitu keterlibatan langsung pemerintah dalam bentuk-bentuk kegiatan ekonomi;
  4. Fungsi perwakilan-untuk menyatakan pendapat daerah atas hal-hal di luar bidang tanggung jawab eksekutif;
  5. Fungsi koordinasi dan perencanaan, terutama dalam investasi dan tata guna tanah.
Dari pengelompokan tersebut, terlihat luasnya fungsi yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah, seperti fungsi koordinasi dan perencanaan. Fungsi ini menjadi penting sekurang-kurangnya sebagai mediator untuk menyamakan persepsi dalam suatu jalinan kerjasama, atau menyelesaikan suatu permasalahan yang mungkin timbul pada pemerintahan local. Namun efektivitas dan jangkauannya sangat tergantung pada faktor yang lain seperti tersedianya berbagai sumber daya.

Pada bagian lain Devey (1980:181) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menetukan bobot suatu penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah regional yaitu:
  1. Sifat dan luasnya fungsi yang dapat dijalankan, yakni bidang-bidang pemerintahan yang dapat dia kontrol, jangkauan keputusan-keputusan yang dapat dia lakukan atau dia pengaruhi.
  2. Luasnya sumber-sumber yang tersedia untuk pemerintah regional sebanding dengan luas dan sifat tugas-tugasnya.
Pemaknaan terhadap konsep di atas dapat dianggap sebagai suatu konsekwensi dari pemberian wewenang atau tanggung jawab pemerintah atasan/pusat kepada pemerintah bawahan/daerah yang diikuti pula dengan sumber pembiayaan, dan pada akhirnya disertai juga dengan pengawasan terhadap pelimpahan tanggung jawab tersebut.

Wewenang pembinaan dalam bentuk pembimbingan dan pendampingan serta pengendalian dan pengawasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, menjadi sangat penting guna memberikan jaminan perlindungan kepada warga negara atau masyarakat dari kesewenang-wenangan dan ketidak adilan pemerintah daerah. Dengan demikian, warga negara yang berada di daerah merasa terlindungi dan mempunyai pegangan serta arah yang tepat dalam melakukan aktivitasnya.

Perencanaan Partisipatif

Wacana tentang partisipasi publik dalam perencanaan dan pengelolaan sektor publik sebenarnya telah lama menjadi perhatian, wacana ini berkembang sejalan dengan perubahan struktur politik yang mengarah pada sistem yang disebut sebagai demokrasi. Proses demokrasi ini pada suatu saat akan mendorong suatu tatanan masyarakat madani yang didalamnya memberi ruang yang cukup luas bagi masyarakat untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan publik.

Seiring dengan berkembangnya proses demokrasi dalam pemerintahan dan demokrasi dalam pembangunan di era otonomi daerah sekarang ini, maka peran serta masyarakat dengan keikutsertaannya pada proses perencanaan adalah hal yang perlu dilakukan. Masyarakat pada masa sekarang ini bukan hanya berperan sebagai objek perencanaan, tetapi mereka telah dapat diberdayakan menjadi subjek perencanaan.

Dengan demikian, proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program pembangunan yang dilakukan dari atas ke bawah (top down planning) dimana peran masyarakat sangat dikecilkan harus diubah. Perubahan ini harus di ikuti dengan niat baik dari pemerintah untuk bisa mengakomodir suara – suara dari masyarakat tentang harapan dan keinginan mereka. Niat ini juga perlu ditunjang dengan menghilangkan anggapan bahwa masyarakat tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk menganalisis kondisi dan merumuskan persoalan serta kebutuhannya. Guna mengoptimalkan kemampuan masyarakat dalam perencanaan, perlu dikembangkan pendekatan dengan menempatkan masyarakat sebagai pihak utama, pendekatan ini lebih bersifat memberdayakan masyarakat, yaitu “model pemberdayaan”.

Dasar proses pemberdayaan masyarakat adalah kegiatan memfasilitasi, mendorong dan melakukan pendampingan kepada masyarakat agar mereka mampu mengenali dan menilai dirinya, serta memiliki kemampuan untuk merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan kegiatan mereka sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik. Proses ini bertujuan untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan sumber daya setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Proses perencanaan yang berbasis pada partisipasi masyarakat dapadikembangkan dengan melibatkan mereka secara langsung dalam proses perencanaan itu sendiri. Hal ini yang sering disebut dengan “perencanaan partisipatif”. Di sini masyarakat dapat terlibat secara aktif pada semua tingkatan proses perencanaan seperti dalam tahapan analisis lingkungan, penetapan sasaran dan tujuan, perumusan visi dan misi, pengembangan evaluasi, dan pemilihan rencana.

Partisipasi atau keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan sangat diharapkan dalam mendukung pelaksanaan pembangunan. Menurut Siagian (1983:42), partisipasi diartikan sebagai keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk bergabung bagi tercapainya tujuan – tujuan kelompok dan ikut bertanggungjawab terhadap kelompoknya. Dari definisi – definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi adalah segala kegiatan yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk mengembangkan energi, mental, dan perasaan dalam situasi di mana kelompok mendorong mereka untuk mencapai tujuan bersama dan bertanggungjawab terhadap kelompoknya dengan harapan akan dapat bermanfaat dengan apa yang mereka perbuat.

Perencanaan Pembangunan Daerah

Menurut Riyadi dan Bratakusuma (2003:7) perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang pada azas prioritas.

Menurut Syahroni (2002:3) definisi praktis perencanaan pembangunan daerah adalah suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku (aktor), baik umum (publik) atau pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek – aspek fisik, sosial – ekonomi dan aspek – aspek lingkungan dengan cara :
1. secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah;
2. merumuskan tujuan – tujuan dan kebijakan - kebijakan pembangunan daerah;
3. menyusun konsep strategi – strategi bagi pemecahan masalah (solusi), dan
4. melaksanakannya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia.

Lebih spesifik pada pembangunan ekonomi daerah, menurut Arsyad (1999:303) perencanaan pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber daya – sumber daya public yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumber – sumber swasta secara bertanggungjawab. Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan secara seimbang perencanaan yang teliti mengenai penggunaan sumber daya publik dan sektor swasta (petani, pengusaha kecil, koperasi, pengusaha besar, organisasi – organisasi sosial) harus mempunyai peran dalam proses perencanaan. Melalui perencanaan pembangunan ekonomi daerah, suatu daerah dilihat sebagai suatu unit ekonomi yang di dalamnya terdapat berbagai unsur yang berinteraksi satu sama lain.

Menurut Blakely dan Bradshaw (2002:67) ada 4 komponen dalam menyeleksi strategi pembangunan ekonomi daerah yaitu: 1. Locality 2. business and economic base; 3. human resources; 4. community resources.



postingan terkait tentang perencanaan pembangunan : Pengertian Perencanaan

Pengertian Perencanaan

Ada beberapa pengertian perencanaan yang dikemukakan oleh para ahli, menurut Tarigan (2005:1) definisi yang sangat sederhana mengenai perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah – langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Definisi perencanaan yang dikemukakan oleh Schoorl (1990) adalah sebagai berikut : “planning is the process of preparing a set of decision for action in the future, directed at achieving goals by optimal means” (perencanaan adalah proses dalam menyiapkan seperangkat keputusan mengenai tindakan di kemudian hari yang ditujukan untuk mencapai tujuan – tujuan dengan menggunakan cara – cara yang optimal) (lihat Petrus, 2002:8). Mintzburg (1993).

Dengan mebandingkan definisi perencanaan pembangunan dari beberapa ahli, mengemukakan perencanaan sebagai berikut (lihat Petrus, 2002:8) :
  1. perencanaan berarti pemikiran maju (masa depan);
  2. perencanaan berarti mengontrol masa depan;
  3. perencanaan adalah pengambilan keputusan;
  4. perencanaan adalah pengambilan keputusan terintegrasi;
  5. perencanaan adalah proses terformalisasi untuk menghasilkan hasil yang terartikulasi dalam bentuk sistem yang terintegrasi dalam keputusan – keputusan yang ada.
Perencanaan yang merupakan suatu proses yang terus menerus selalu menekankan tidak saja pada produk melainkan pada proses penilaian atas sukses tidaknya suatu kegiatan diukur baik dari proses maupun dari outputnya. Sebagian perencana lebih konsern pada output. Proses yang baik belum tentu menjamin output yang baik dan demikian juga sebaliknya. Sebagai suatu proses, perencanaan terkait erat dengan siklus manajemen.

Tingkat Kesukarelaan Partisipasi

Dusseldorp (1981) membedakan adanya beberapa jenjang kesukarelaan sebagai berikut :
  1. Partisipasi spontan, yaitu peranserta yang tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman, penghayatan, dan keyakinannya sendiri
  2. Partisipasi terinduksi, yaitu peranserta yang tumbuh karena terinduksi oleh adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh, dorongan) dari luar; meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi.
  3. Partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peranserta yang tumbuh karena adanya tekanan yang dirasakan sebagaimana layaknya warga masyarakat pada umumnya, atau peranserta yang dilakukan untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai, atau norma yang dianut oleh masy arakat setempat. Jika tidak berperan serta, khawatir akan tersisih atau dikucilkan masyarakatnya.
  4. Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi, yaitu peranserta yang dilakukan karena takut akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian/tidak memperoleh bagian manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan. 
  5. Partisipasi tertekan oleh peraturan, yaitu peran serta yang dilakukan karena takut menerima hukuman dari peraturan/ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan

Bentuk – Bentuk Partisipasi

Menurut  Holil  Soelaiman (1985), bentuk – bentuk  partisipasi  sosial  digolongkan  ke dalam :
  1.  Partisipasi langsung dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka
  2. Partisipasi dalam bentuk iuran uang atau barang dalam kegiatan partisipatori, dana dan sarana sebaiknya datang dari dalam masyarakat sendiri kalaupun terpaksa diperlukan dari luar hanya bersifat sementara dan sebagai umpan.
  3. Partisipasi dalam bentuk dukungan.
  4. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan
  5. Partisipasi representatif dengan memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil-wakil yang duduk dalam organisasi atau panitia.
Menurut Taliziduhu Ndraha (1987 : 103-104) :
  1. Partisipasi dalam kontak dengan pihak lain sebagai titik awal perubahan sosial.
  2. Partisipasi dalam menyerap atau memberikan tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat atau menolaknya.
  3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan dan pengambilan keputusan
  4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan
  5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan
  6. Partisipasi dalam menilai pembangunan yaitu keterlibatan warga masyarakat dalam menilai pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauhmana kebutuhan masyarakat.

Definisi Partisipasi


Partisipasi—didalam Kamus Bahasa Indonesia Populer  didefinisikan sebagai “hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta”. Didalam kamus Bahasa Inggris partisipasi disebut dengan “Participate” yang artinya mengikutsertakan atau mengambil bagian, sementara orang yang ikut serta atau ambil bagian dalam suatu kegiatan tersebut, dalam Bahasa Inggris disebut dengan “Participant”.

Bhattacharyya mendefinisikan partisipasi sebagai : ikut serta mengambil bagian dalam kegiatan bersama.

Mubyarto (1984:35) mendefinisikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Bank Dunia (1990) mendefinisikan Partisipasi sebagai “Suatu proses dimana setiap stakeholders mempengaruhi dan membagi pengawasan pada inisiatif pembangunan dan keputusan serta sumberdaya yang mempengaruhi mereka”.

Definisi partisipasi menurut Sumarto : partisipasi merupakan proses anggota masyarakat sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka.

Menurut Ach. Wazir Ws, partisipasi didefinisikan sebagai “keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama.”

Pengertian partisipasi yang dikemukakan diatas dimaksudkan bahwa dalam partisipasi berupa wujud kesadaran diri seseorang atau sekelompok masyarakat untuk turut berperan dalam konteks  hubungan sosial dimana memiliki rasa tanggung jawab bersama dari dalam diri masing-masing

Partisipasi masyarakat menurut Isbandi adalah :
“Keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi”.

Mikkelsen  membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu:
  1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan;
  2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan;
  3. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri;
  4. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu
  5. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial;
  6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.

Ketertiban dan Ketentraman masyarakat

Ketentraman dan ketertiban, berasal dari kata dasar  “tentram” dan “tertib” yang pengertiannya menurut W.J.S Poerwadarminta adalah :
“Tentram ialah aman atau ( tidak rusuh, tidak dalam kekacauan) misalnya didaerah yang aman, orang-orang bekerja dengan senang, tenang (tidak gelisah, tenang hati, pikiran). Misalnya sekarang barulah ia merasa tentram, tiada tentram hatinya ketentraman artinya keamanan, ketenangan, (pikiran). Selanjutnya Tertib ialah aturan, peraturan yang baik, misalnya tertib acara aturan dalam sidang (rapat dan sebagainya), acara program, tertib hukum yaitu aturan yang bertalian hukum. ketertiban artinya aturan peraturan, kesopanan, peri kelakuan yang baik dalam pergaulan, keadaan serta teratur baik.”

Berdasarkan kedua pengertian diatas terdapat keterkaitan yang erat dimana dengan adanya rasa aman, masyarakat merasa tenang maka timbullah masyarakat yang tertib hukum dengan segala peraturan yang berlaku dan begitu pula sebaliknya dengan adanya sikap tertib terhadap sesuatu dimana saling menghormati peraturan yang ada, saling mengerti posisi masing-masing, maka masyarakat dapat merasa bahwa di dalam  kondisi yang ia hadapi masyarakat dapat merasa aman secara jasmani dan psikis, damai dan tenang tanpa adanya gangguan apapun dan itulah yang disebut terciptanya suasana tentram.

Menurut J.S Badudu dan Z.M Zain mendefinisikan bahwa :
“Ketentraman adalah keamanan, kesentosaan, kedamaian, ketenangan dan ketertiban adalah keteraturan, keadaan teratur misalnya ketertiban harus selalu dijaga demi kelancaran pekerjaan”.

Berdasarkan definisi diatas pada dasarnya ketentraman dan ketertiban adalah suatu keadaan yang aman dan teratur, tidak datang kerusuhan dan kekacauan sehingga daerah-daerah aman dan orang-orang didaerah tersebut bekerja dengan tenang dan teratur sesuai peraturan yang berlaku, menyebabkan terciptanya kelancaran pekerjaan.

pengertian ketentraman dan ketertiban menurut Ermaya Suradinata, mendefinisikan bahwa :
“Ketentraman dan ketertiban adalah suatu keadaan agar pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara aman, tertib dan teratur.Ketentraman dan ketertiban ini dapat terganggu oleh berbagai sebab dan keadaan diantaranya oleh pelanggaran Hukum yang berlaku, yang menyebabkan terganggunya ketentraman dan ketertiban masyarakat, bancana alam maupun bencana yang ditimbulkan oleh manusia atau organisasi lainnya, dan faktor dari bidang Ekonomi dan Keuangan”.

Kewenangan

Wewenang (kamus Besar bahasa Indonesia, 1995) didefinisikan sebagai kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain; fungsi yang boleh tidak dilaksanakan.Kewenangan dalam literature bahasa inggris disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau bevoegdheid.

Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum public atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (matcht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Dalam hukum “wewenang”, berarti pula hak dan kewajiban (rechteren plichter). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (self regular) dan mengelola sendiri (self bestur). Sedangkan kewajiban berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Kewenangan itu berasal dari delegasi dan mandate.

Istilah delegasi berarti penyerahan atau perlimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan untuk suatu tugas-tugas tertentu dengan kewajiban untuk mempertanggunjawabkan tugas itu kepada pemberi tugas, seperti camat menerima perlimpahan sebagian kewenangan dari Bupati/ Walikota. Adapun istilah mandate adalah perintah atau tugas yang diberikan oleh atasan untuk melaksanakan suatu tugas.

Menurut Prajudi atmosudirdjo, membedakan antara wewenang (competence, bevoegdheid) dan kewenangan (author, gezag). Walaupun dalam prakteknya perbedaan tidak selalu perlu. Kewenangan apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif (Prajudi Atmosudirdjo, 1995:78). Tipe kewenangan, yaitu :
1.    Kewenangan Prosedural, yaitu berasal dari Peraturan Perundang-undangan
2.    Kewenangan Substansial, yaitu bersal dari tradisi, kekuatan sacral, kualitas pribadi dan instrumental.

Sikap terhadap kewenangan, yaitu Menerima, Mempertanyakan (skeptis), Menolak dan Kombinasi

Tiga Komponen Good Governance


Secara teoretis, terdapat tiga komponen penting yang terkait satu sama lain dalam membangun  adanya good governance. Pertama adalah institusi negara (state). Komponen pertama ini memiliki peran penting, khususnya dalam meletakkan landasan bagi keberadaan pemerataan, keadilan, dan kedamaian serta membangun lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi pembangunan.

Komponen kedua adalah masyarakat madani (civil society). Komponen yang kedua ini memiliki peran penting dalam membangun landasan bagi adanya kebebasan dan persamaan, termasuk kebebasan mengekspresikan diri yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ketiga adalah sektor swasta (privat sector). Keberadaan komponen ketiga ini penting untuk meletakkan landasan bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Sektor swasta dapat berperan dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, meningkatkan volume produksi dan perdagangan, membangun SDM, dan langkah-langkah penting lainnya.

Definisi POAC Dalam Manajemen


Mengenai fungsi-fungsi manajemen, banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam tulisan ini dipaparkan pandangan dari GR. Terry yang merumuskan fungsi-fungsi manajemen yaitu disingkat menjadi POAC (planning, organizing, actuating and controlling).

Planning
Perencanaan adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan

Organizing
Pengorganisasian dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan mana keputusan harus diambil

Actuating
Setelah rencana disusun dan diatur serta ditentukan tentang tupoksi masing-masing maka rencana yang sudah disusun tersebut dilaksanakan sesuai dengan tupoksi masing-masing yang sudah ada.

Controlling
Controlling atau pengawasan, sering juga disebut pengendalian adalah salah satu fungsi manajemen yang berupa mengadakan penilaian, bila perlu mengadakan koreksi sehingga apa yang dilakukan bawahan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan maksud dengan tujuan yang telah digariskan semula.