pengertian otonomi daerah

Pengertian otonomi daerah dalam ketatanegaraan sangat erat kaitannya dengan desentralisasi, bahkan diantara keduanya diibaratkan seperti dua sisi mata uang (Marynov dalam Riswandha, 1995). Dari sisi Pemerintah pusat yang dilihat adalah penyelenggaraan desentralisasi, sedangkan dari sisi Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan otonomi. Disamping itu desentralisasi juga mempunyai dua pengertian. Pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang tertentu kepada daerah oleh pemerintah pusat (Logeman dalam Riswandha, 1995); Kedua, desentralisasi dapat pula berupa pelimpahan kekuasaan pemerintah pusat ke daerah-daerah (Riswandha, 1995; Hossein, 1993).

Dengan demikian, berbicara otonomi daerah tidak dapat kita lepaskan dari konsep desentralisasi.  Webster (Suryaningrat, 1981:3) merumuskan : “to decentralize means to devide and distribute, as govermental administration; to with draw from the center or place of concentration (desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya administrasi pemerintahan; mengeluarkan dari pusat atau tempat konsentrasi)”. Selanjutnya Ruiter dalam Hoogerwerf (Sarundajang, 1999:46), mengemukakan bahwa desentralisasi adalah pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih rendah, untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu.

Logeman (Supriatna, 1993:1-2), membagi format desentralisasi dalam dua macam, yaitu pertama, dekonsentrasi (deconcentratie) atau ‘ambtelijke decentralisatie’, yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Misalnya pelimpahan wewenang menteri kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati/walikota dan seterusnya secara berjenjang. Desentralisasi semacam ini rakyat atau Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah tidak ikut campur; kedua, desentralisasi ketatanegaraan atau ‘staatkundige decentralisatie’, yang sering disebut juga desentralisasi politik,  yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Didalam desentralisasi politik semacam ini, rakyat dengan menggunakan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta dalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah.

Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan

Dalam studi kebijakan, dipahami benar bahwa bukan persoalan yang mudah untuk melahirkan satu kebijakan bahkan untuk kebijakan pada tingkatan lokal, apalagi kebijakan yang memiliki cakupan serta pengaruh luas, menyangkut kelompok sasaran serta daerah atau wilayah yang besar.

Pada tatanan implementasi pun, persoalan yang sama terjadi, bahkan menjadi lebih rumit lagi karena dalam melaksanakan satu kebijakan selalu terkait dengan kelompok sasaran dan birokrat itu sendiri, dengan kompleksitasnya masing-masing. Tidak saja dalam proses implementasi, dalam realitas  ditemukan juga walaupun kebijakan dengan tujuan yang jelas telah dikeluarkan tetapi mengalami hambatan dalam implementasi (tidak atau belum dapat diimplementasikan) karena dihadapkan dengan berbagai kesulitan atau hambatan.

Seperti yang dikemukakan oleh Effendi (2000) dan Darwin (1999) bahwa ada kebijakan yang mudah diimplementasikan, tetapi ada pula yang sulit diimplementasikan, oleh Darwin (1999) ditegaskan "karena itu, salah satu hal yang penting dalam studi implementasi adalah bagaimana mengenali tingkat kesulitan suatu kebijakan untuk diimplementasikan, dan bagaimana agar kebijakan tersebut dapat lebih terimplementasi". Pertanyaan yang sama ditegaskan pula oleh Edward II (1980:2) yakni " what are the preconditions for successful policy implementation ?". Prakondisi-prakondisi yang dimaksud dapat berupa hambatan/kesulitan ataupun pendorong agar kebijakan dapat diimplementasikan.

Lebih lanjut, Darwin (1999) menyatakan bahwa ada 5 aspek yang menentukan tingkat implementabilitas kebijakan publik, yaitu :
a.    Sifat kepentingan yang dipengaruhi
Dalam proses implementasi satu kebijakan publik seringkali menimbulkan konflik dari kelompok sasaran atau masyarakat, artinya terbuka peluang munculnya kelompok tertentu diuntungkan (gainer), sedangkan dipihak lain implementasi kebijakan tersebut justru merugikan kelompok lain (looser) (Agus Dwiyanto, 2000).

Implikasinya, masalah yang muncul kemudian berasal dari  orang-orang yang merasa dirugikan. Upaya untuk menghalang-halangi, tindakan complain, bahkan benturan fisik bisa saja terjadi. Singkatnya, semakin besar konflik kepentingan yang terjadi dalam implementasi kebijakan publik, maka semakin sulit pula proses implementasi nantinya, demikian pula sebaliknya.

b.    Kejelasan manfaat
Dalam konteks pemerintahan yang amanah, berarti pemerintah haruslah menyelesaikan persoalan-persoalan walaupun tidak bisa dikatakan seluruh persoalan, karena keterbatasan diri pemerintah sendiri, untuk kemudian memberdayakan masyarakat atau melalui LSM dan organisasi lainnya untuk menyelesaikan persoalan yang muncul dalam masyarakat, dimana upaya intervensi pemerintah haruslah bermanfaat bagi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.

Jika dilihat dari aspek bermanfaat atau tidak, maka semakin bermanfaat implementasi kebijakan publik, dengan sendirinya dalam proses implementasi nantinya akan lebih mudah, dalam artian untuk waktu yang tidak begitu lama implementasi kebijakan dilaksanakan serta mudah dalam proses implementas, sebaliknya bila tidak bermanfaat maka akan sulit dalam proses implementasi lebih lanjut.

c.    Perubahan perilaku yang dibutuhkan
Aspek lain yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan publik adalah perubahan perilaku kelompok sasaran atau masyarakat. Maksudnya, sebelum implementasi kebijakan kelompok sasaran atau masyarakat melakukan sesuatu dengan pola implementasi kebijakan terdahulu. Ketika satu kebijakan baru diimplementasikan, terjadi perubahan baik dalam finansial, cara atau tempat dan sebagainya. Perubahan tersebut akan menimbulkan resistensi dari kelompok sasaran.

Masalahnya, lebih banyak implementasi kebijakan yang menuntut perubahan perilaku, baik sedikit atau banyak, artinya pengambil kebijakan seharusnya memilih alternatif kebijakan yang paling kecil menimbulkan pengaruh pada perubahan perilaku kelompok sasaran atau masyarakat. Oleh Darwin (1999) menyatakan bahwa : Dalam hal ini pengambil kebijakan perlu menghindari pengambilan kebijakan yang menuntut perubahan perilaku terlalu jauh, dan tentunya tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, atau pola hidup masyarakat yang sudah turun temurun.

d.    Aparat pelaksana
Aparat pelaksana atau implementor merupakan faktor lain yang menentukan apakah satu kebijakan publik sulit atau tidak diimplementasikan. Komitment untuk berperilaku sesuai tujuan kebijakan penting dimiliki oleh aparat pelaksana. Oleh Darwin (1999) mengatakan bahwa dalam hal ini diperlukan pengembangan aturan yang jelas dan sistem monitoring dan kontrol yang efektif dan transparan yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya perilaku aparat yang berlawanan dengan tujuan publik tersebut.

Selain itu, masyarakat perlu diberdayakan agar lebih kritis dalam mensikapi perilaku aparat yang menyimpang, pilihan proram merupakan upaya mengimplementasikan kebijakan in-built mekanisme yang menjamin transparasi dan pengawasan, hal ini penting untuk mengarahkan perilaku aparat. Selain itu, kualitas aparat dalam melaksanakan proses impementasi pun menjadi kendala yang sering dijumpai. Terutama, menyangkut implementasi kebijakan yang membutuhkan ketrampilan khusus.

Dengan demikian memberikan indikasi bahwa aparat pelaksana kebijakan menjadi salah satu aspek untuk menilai sulit tidaknya implementasi kebijakan. Komitmen, kualitas dan persepsi yang baik nantinya akan memudahkan dalam proses implementasi kebijakan dan sebaliknya.

e.    Dukungan sumber daya
Suatu program akan dapat terimplementasi dengan baik jika didukung oleh sumber daya yang memadai, dalam hal ini dapat berbentuk dana, peralatan teknologi, dan sarana serta prasarana lainnya. Kesulitan untuk melaksanakan satu program terkait erat dengan beberapa hal yang disebut terakhir, bila sumber daya yang ada tidak mendukung maka implementasi program tersebut nantinya dalam implementasi program tersebut akan menemui kesulitan.

Fungsi Pemerintah

Kehadiran negara atau pemerintah tetap ada dalam percaturan ekonomi rakyat, walaupun secara kuantitas atau kualitas memiliki variasi yang berbeda. Kehadiran tersebut, terutama untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui berbagai kebijakan perencanaan yang strategis. Menurut  Devey (1980:21-24), fungsi-fungsi pemerintahan regional dapat digolongkan dalam lima pengelompokan, yaitu :
  1. Fungsi penyediaan pelayanan yang berorientasi lingkungan dan kemasyarakatan; 
  2. Fungsi pengaturan-yakni perumusan dan penegakan (enforce) peraturan-peraturan;
  3. Fungsi pembangunan, yaitu keterlibatan langsung pemerintah dalam bentuk-bentuk kegiatan ekonomi;
  4. Fungsi perwakilan-untuk menyatakan pendapat daerah atas hal-hal di luar bidang tanggung jawab eksekutif;
  5. Fungsi koordinasi dan perencanaan, terutama dalam investasi dan tata guna tanah.
Dari pengelompokan tersebut, terlihat luasnya fungsi yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah, seperti fungsi koordinasi dan perencanaan. Fungsi ini menjadi penting sekurang-kurangnya sebagai mediator untuk menyamakan persepsi dalam suatu jalinan kerjasama, atau menyelesaikan suatu permasalahan yang mungkin timbul pada pemerintahan local. Namun efektivitas dan jangkauannya sangat tergantung pada faktor yang lain seperti tersedianya berbagai sumber daya.

Pada bagian lain Devey (1980:181) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menetukan bobot suatu penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah regional yaitu:
  1. Sifat dan luasnya fungsi yang dapat dijalankan, yakni bidang-bidang pemerintahan yang dapat dia kontrol, jangkauan keputusan-keputusan yang dapat dia lakukan atau dia pengaruhi.
  2. Luasnya sumber-sumber yang tersedia untuk pemerintah regional sebanding dengan luas dan sifat tugas-tugasnya.
Pemaknaan terhadap konsep di atas dapat dianggap sebagai suatu konsekwensi dari pemberian wewenang atau tanggung jawab pemerintah atasan/pusat kepada pemerintah bawahan/daerah yang diikuti pula dengan sumber pembiayaan, dan pada akhirnya disertai juga dengan pengawasan terhadap pelimpahan tanggung jawab tersebut.

Wewenang pembinaan dalam bentuk pembimbingan dan pendampingan serta pengendalian dan pengawasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, menjadi sangat penting guna memberikan jaminan perlindungan kepada warga negara atau masyarakat dari kesewenang-wenangan dan ketidak adilan pemerintah daerah. Dengan demikian, warga negara yang berada di daerah merasa terlindungi dan mempunyai pegangan serta arah yang tepat dalam melakukan aktivitasnya.

Perencanaan Partisipatif

Wacana tentang partisipasi publik dalam perencanaan dan pengelolaan sektor publik sebenarnya telah lama menjadi perhatian, wacana ini berkembang sejalan dengan perubahan struktur politik yang mengarah pada sistem yang disebut sebagai demokrasi. Proses demokrasi ini pada suatu saat akan mendorong suatu tatanan masyarakat madani yang didalamnya memberi ruang yang cukup luas bagi masyarakat untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan publik.

Seiring dengan berkembangnya proses demokrasi dalam pemerintahan dan demokrasi dalam pembangunan di era otonomi daerah sekarang ini, maka peran serta masyarakat dengan keikutsertaannya pada proses perencanaan adalah hal yang perlu dilakukan. Masyarakat pada masa sekarang ini bukan hanya berperan sebagai objek perencanaan, tetapi mereka telah dapat diberdayakan menjadi subjek perencanaan.

Dengan demikian, proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program pembangunan yang dilakukan dari atas ke bawah (top down planning) dimana peran masyarakat sangat dikecilkan harus diubah. Perubahan ini harus di ikuti dengan niat baik dari pemerintah untuk bisa mengakomodir suara – suara dari masyarakat tentang harapan dan keinginan mereka. Niat ini juga perlu ditunjang dengan menghilangkan anggapan bahwa masyarakat tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk menganalisis kondisi dan merumuskan persoalan serta kebutuhannya. Guna mengoptimalkan kemampuan masyarakat dalam perencanaan, perlu dikembangkan pendekatan dengan menempatkan masyarakat sebagai pihak utama, pendekatan ini lebih bersifat memberdayakan masyarakat, yaitu “model pemberdayaan”.

Dasar proses pemberdayaan masyarakat adalah kegiatan memfasilitasi, mendorong dan melakukan pendampingan kepada masyarakat agar mereka mampu mengenali dan menilai dirinya, serta memiliki kemampuan untuk merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan kegiatan mereka sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik. Proses ini bertujuan untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan sumber daya setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Proses perencanaan yang berbasis pada partisipasi masyarakat dapadikembangkan dengan melibatkan mereka secara langsung dalam proses perencanaan itu sendiri. Hal ini yang sering disebut dengan “perencanaan partisipatif”. Di sini masyarakat dapat terlibat secara aktif pada semua tingkatan proses perencanaan seperti dalam tahapan analisis lingkungan, penetapan sasaran dan tujuan, perumusan visi dan misi, pengembangan evaluasi, dan pemilihan rencana.

Partisipasi atau keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan sangat diharapkan dalam mendukung pelaksanaan pembangunan. Menurut Siagian (1983:42), partisipasi diartikan sebagai keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk bergabung bagi tercapainya tujuan – tujuan kelompok dan ikut bertanggungjawab terhadap kelompoknya. Dari definisi – definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi adalah segala kegiatan yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk mengembangkan energi, mental, dan perasaan dalam situasi di mana kelompok mendorong mereka untuk mencapai tujuan bersama dan bertanggungjawab terhadap kelompoknya dengan harapan akan dapat bermanfaat dengan apa yang mereka perbuat.

Perencanaan Pembangunan Daerah

Menurut Riyadi dan Bratakusuma (2003:7) perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang pada azas prioritas.

Menurut Syahroni (2002:3) definisi praktis perencanaan pembangunan daerah adalah suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku (aktor), baik umum (publik) atau pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek – aspek fisik, sosial – ekonomi dan aspek – aspek lingkungan dengan cara :
1. secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah;
2. merumuskan tujuan – tujuan dan kebijakan - kebijakan pembangunan daerah;
3. menyusun konsep strategi – strategi bagi pemecahan masalah (solusi), dan
4. melaksanakannya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia.

Lebih spesifik pada pembangunan ekonomi daerah, menurut Arsyad (1999:303) perencanaan pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber daya – sumber daya public yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumber – sumber swasta secara bertanggungjawab. Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan secara seimbang perencanaan yang teliti mengenai penggunaan sumber daya publik dan sektor swasta (petani, pengusaha kecil, koperasi, pengusaha besar, organisasi – organisasi sosial) harus mempunyai peran dalam proses perencanaan. Melalui perencanaan pembangunan ekonomi daerah, suatu daerah dilihat sebagai suatu unit ekonomi yang di dalamnya terdapat berbagai unsur yang berinteraksi satu sama lain.

Menurut Blakely dan Bradshaw (2002:67) ada 4 komponen dalam menyeleksi strategi pembangunan ekonomi daerah yaitu: 1. Locality 2. business and economic base; 3. human resources; 4. community resources.



postingan terkait tentang perencanaan pembangunan : Pengertian Perencanaan

Pengertian Perencanaan

Ada beberapa pengertian perencanaan yang dikemukakan oleh para ahli, menurut Tarigan (2005:1) definisi yang sangat sederhana mengenai perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah – langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Definisi perencanaan yang dikemukakan oleh Schoorl (1990) adalah sebagai berikut : “planning is the process of preparing a set of decision for action in the future, directed at achieving goals by optimal means” (perencanaan adalah proses dalam menyiapkan seperangkat keputusan mengenai tindakan di kemudian hari yang ditujukan untuk mencapai tujuan – tujuan dengan menggunakan cara – cara yang optimal) (lihat Petrus, 2002:8). Mintzburg (1993).

Dengan mebandingkan definisi perencanaan pembangunan dari beberapa ahli, mengemukakan perencanaan sebagai berikut (lihat Petrus, 2002:8) :
  1. perencanaan berarti pemikiran maju (masa depan);
  2. perencanaan berarti mengontrol masa depan;
  3. perencanaan adalah pengambilan keputusan;
  4. perencanaan adalah pengambilan keputusan terintegrasi;
  5. perencanaan adalah proses terformalisasi untuk menghasilkan hasil yang terartikulasi dalam bentuk sistem yang terintegrasi dalam keputusan – keputusan yang ada.
Perencanaan yang merupakan suatu proses yang terus menerus selalu menekankan tidak saja pada produk melainkan pada proses penilaian atas sukses tidaknya suatu kegiatan diukur baik dari proses maupun dari outputnya. Sebagian perencana lebih konsern pada output. Proses yang baik belum tentu menjamin output yang baik dan demikian juga sebaliknya. Sebagai suatu proses, perencanaan terkait erat dengan siklus manajemen.

Tingkat Kesukarelaan Partisipasi

Dusseldorp (1981) membedakan adanya beberapa jenjang kesukarelaan sebagai berikut :
  1. Partisipasi spontan, yaitu peranserta yang tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman, penghayatan, dan keyakinannya sendiri
  2. Partisipasi terinduksi, yaitu peranserta yang tumbuh karena terinduksi oleh adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh, dorongan) dari luar; meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi.
  3. Partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peranserta yang tumbuh karena adanya tekanan yang dirasakan sebagaimana layaknya warga masyarakat pada umumnya, atau peranserta yang dilakukan untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai, atau norma yang dianut oleh masy arakat setempat. Jika tidak berperan serta, khawatir akan tersisih atau dikucilkan masyarakatnya.
  4. Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi, yaitu peranserta yang dilakukan karena takut akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian/tidak memperoleh bagian manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan. 
  5. Partisipasi tertekan oleh peraturan, yaitu peran serta yang dilakukan karena takut menerima hukuman dari peraturan/ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan