Definisi POAC Dalam Manajemen


Mengenai fungsi-fungsi manajemen, banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam tulisan ini dipaparkan pandangan dari GR. Terry yang merumuskan fungsi-fungsi manajemen yaitu disingkat menjadi POAC (planning, organizing, actuating and controlling).

Planning
Perencanaan adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan

Organizing
Pengorganisasian dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan mana keputusan harus diambil

Actuating
Setelah rencana disusun dan diatur serta ditentukan tentang tupoksi masing-masing maka rencana yang sudah disusun tersebut dilaksanakan sesuai dengan tupoksi masing-masing yang sudah ada.

Controlling
Controlling atau pengawasan, sering juga disebut pengendalian adalah salah satu fungsi manajemen yang berupa mengadakan penilaian, bila perlu mengadakan koreksi sehingga apa yang dilakukan bawahan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan maksud dengan tujuan yang telah digariskan semula.

Membuat Suatu Kawasan Agropolitan


 Syarat Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan agropolitan bila dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.      Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya.
2.      Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan system dan usaha agribisnis, yaitu:
a.       Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan.
b.      Lembaga keuangan sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis
c.       Memiliki kelembagaan petani yang dinamis dan terbuka terhadap perkembangan teknologi
d.      Balai penyuluhan pertnaian yang berfungsi sebagai klinik konsultasi agribisnis
e.       Percobaan/pengkajian teknologi agribisnis untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan
f.       Jaringan jalan yang memadai dan aksesbilitas dengan daerah lainnya serta sarana irigasi  yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian yang efesien
g.      Memiliki sarana dan prsarana kesejahteraan social yang meadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi dan lain-lain
h.      Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumber daya alam, kelestarian social budaya maupun keharmonisan hubungan kota dan desa terjamin.

Konsep Kawasan Agropolitan


Kota agropolitan dapat merupakan kota menengah atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota perdesaan yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland datau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sector pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industry kecil, kepariwisataan, jasa pelayanan dan lain-lain. 

Suatu kawasan agropolitan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.     Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis)
2.      Sebagian besar kegiatan dikawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk didalamnya usaha industry (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan
3.      Hubungan atara kota dan daerah-daerah hinterland/daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdependensi/timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, model, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian.
4.      Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.

Teori Kutub Pertumbuhan


Teori kutub pertumbuhan pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Perancis yaitu Perroux pada tahun 1950 dengan teorinya pole de croisanse, yang menyatakan  pertumbuhan tidak muncul  di setiap tempat secara simultan dan serentak (Arsyad, 1999: 147).

Menurut Arsyad (1999: 148) bahwa inti dari teori Perroux ini adalah sebagai berikut:
a.       dalam proses pembangunan akan muncul industri unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan  suatu daerah karena keterkaitan antara industri (forward linkage dan backward linkage), maka perkembangan industri unggulan akan mempengaruhi perkembangan industri lainnya yang berhubungan  erat dengan  industri unggulan tersebut;
b.      pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan ekonomi, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda  antardaerah sehingga perkembangan industri di daerah akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainnya;
c.       perekonomian merupakan gabungan dari sistem industri yang relatif aktif (industri unggulan) dengan industri-industri  yang relatif pasif  yaitu industri  yang tergantung dari industri unggulan atau pusat pertumbuhan. Daerah yang relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daerah yang relatif pasif. Diharapkan dari ide ini adalah munculnya trickle down effect dan spread effect.

Tolak Ukur Pembangunan Ekonomi


Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi daerah adalah pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi sekaligus makin kecilnya ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita daerah dalam jangka panjang. Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor utama yang menentukan pertumbuhan ekonomi daerah adalah adanya permintaan barang dan jasa dari luar daerah tersebut, sehingga sumber daya lokal akan dapat menghasilkan kekayaan daerah sekaligus dapat menciptakan peluang kerja di daerah. Hal ini berarti bahwa sumber daya lokal baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia sebagai pemegang kunci yang sangat strategis dalam perekonomian suatu daerah. 

Sumber daya lokal yang merupakan potensi ekonomi harus dapat dikembangkan secara optimal sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi daerah. Perkembangan atau pertumbuhan dari masing-masing sektor  perekonomian ditentukan oleh berbagai sebab seperti ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Menurut Widodo (1990: 41) transformasi struktural merupakan rangkaian perubahan dalam komposisi permintaan, perdagangan, produksi dan penggunaan faktor produksi untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi.

Strategi pembangunan yang dilakukan  untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah industrialisasi yang biasanya dipusatkan pada titik-titik pertumbuhan tertentu (growth pole). Dalam kegiatan tersebut diharapkan  terjadinya spread effect  dari kegiatan  pusat pertumbuhan sehingga daerah sekitarnya juga akan dapat tumbuh.

Ketidakseimbangan pertumbuhan spatial yang terjadi di Indonesia  merupakan salah satu akibat adanya perbedaan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang merupakan konsekuensi terhadap sistem pemerintahan yang sentralistik. Implikasi lebih lanjut di antaranya adalah pada kebijakan pemerintah yang berupa penetapan kawasan-kawasan pengembangan. Penetapan kawasan spesifik ini pada dasarnya sangat banyak dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang dianggap perlu oleh pemerintah, sehingga lokasi-lokasi yang dipilih  adalah daerah-daerah yang berdekatan atau berada pada pusat-pusat pertumbuhan (kota-kota besar). Pemilihan lokasi semacam ini bertujuan untuk memberikan dampak yang dapat memacu pertumbuhan  daerah atau kota tersebut.
Model pembangunan daerah yang diterapkan pada kawasan-kawasan pengembangan merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan di Indonesia, dengan pertimbangan utama adalah berbagai kendala terutama kemampuan  dana untuk  pembangunan. Dalam skala kecil model tersebut diterapkan pula di daerah  baik  propinsi maupun di kabupaten.